- Pengutipan
Kata pengutipan berarti hal, cara, atau proses
mengutip. Mengutip merupakan
pekerjaan mengambil atau memungut kutipan. Menurut Azahari (dalam Alam,
2005:38) “kutipan merupakan bagian dari pernyataan, pendapat, buah pikiran,
definisi, rumusan atau penelitian dari penulis lain, atau penulis sendiri yang
telah (menurut penulis kata telah harus dihilangkan) terdokumentasi, serta
dikutip untuk dibahas dan ditelaah berkaitan dengan materi penulisan”. Batasan
di atas tidak hanya memaparkan hakikat kutipan, tetapi juga menjelaskan
kepentingan mengutip, yakni untuk dibahas dan ditelaah. Hal ini mengandung
pengertian bahwa pengutipan memiliki tujuan tertentu, bukan sekadar menambah
jumlah paparan penelitian.
Walaupun penulis diperkenankan mengutip, bukan berarti
tulisannya syarat dengan kutipan (perhatikan pula Keraf, 2001: 179). Tulisan
hasil penelitian haruslah merupakan hasil
gagasan asli penulisnya bukan kumpulan kutipan pendapat pihak
lain. Jika akan mengutip pertimbangkanlah jangan sering mengutip dengan cara
langsung, variasikan dengan cara tidak langsung. Kutipan seharusnyalah dapat
mengembangkan gagasan penelitian.
- Kaidah Pengutipan dalam
Karya Tulis Ilmiah
Mengutip merupakan pekerjaan yang dapat
menunjukkan kredibilitas penulis. Oleh karena itu, mengutip harus dilakukan
secara teliti, cermat, dan bertanggung jawab. Hariwijaya dan Triton (2011: 151)
mengatakan bahwa ketika mengutip perlu dipelajari bagaimana teknik pengutipan
sesuai dengan standar ilmiah
(penambahan kata dengan oleh penulis).
Untuk itu, perlu diperhatikan hal berikut: (1) mengutip sehemat-hematnya, (2)
mengutip jika dirasa sangat perlu semata-mata, dan (3) terlalu banyak mengutip
mengganggu kelancaran bahasa.
Cara Mengutip
Ada dua cara atau sistem dalam mengutip sumber
sebagai rujukan, yaitu sistem catatan dan sistem langsung. Pada sistem pertama
identitas rujukan—nama penulis, tahun, dan halaman—tidak ditampilkan langsung,
sedangkan pada sistem kedua identitas tersebut ditampilkan. Pada sistem pertama
di akhir kutipan ditampilkan nomor berupa angka Arab, yang ditulis agak ke atas
dengan ukuran huruf lebih kecil (superscript). Kemudian angka tersebut akan dirujukan
kepada catatan kaki pada bagian bawah halaman. Dalam sistem catatan ini dikenal
sistem tradisional dan sistem Harvard (Kalidjernih, 2010: 119). Pada sistem
tardisional digunkan kataibid, loc cit, dan op cit untuk pengacuan rujukan sebelumnya,
sedangkan dalam sistem Harvard tidak demikian.
Dalam hal cara mengutip ini, banyak sistem lain di samping dua
sistem yang disebutkan di atas. Dalam makalah ini hanya akan dipaparkan sistem
mengutip yang pada umumnya digunakan di Indonesia. Sistem ini pada pandangan
penulis merupakan hasil kolaborasi atau kombinasi beberapa sistem yang dikenal
di dunia. Makalah ini pun hanya akan menyajikan sistem pengutipan sumber dengan
sistem langsung, sedangkan sistem catatan tidak akan dijelaskan. Sistem
langsung ini menampilkan nama penulis, tahun, dan halaman atau penulis, tahun
tanpa halaman.
Ada dua cara untuk mengutip, yaitu mengutip langsung dan
mengutip tidak langsung.
Kutipan langsung merupakan salinan yang persis sama dengan
sumbernya tanpa penambahan (Widjono, 2005: 63), sedangkan kutipan tidak
langsung menyadur, mengambil ide dari suatu sumber dan menuliskannya sendiri
dengan kalimat atau bahasa sendiri (Widjono, 2005: 64).
- Kutipan
Tidak Langsung
Cara melakukan
kutipan tidak langsung adalah sebagai berikut:
- Menggunakan
redaksi dari penulis sendiri (parafrasa);
- Mencantumkan
sumber (nama penulis, tahun, dan halaman)
Contoh1:
Menurut salah satu historiografi tradisional, penyerahan
kekuasaan kerajaan Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang berlangsung melalui
penyerahan mahkota emas raja Kerajaan Sunda Pajajaran kep[da Prabu Geusan Ulun.
Penyerahan mahkota secarasibolisbereti bahwa Sumedanglarang menjadi penerus
Kerajaan Sunda (Suryaningrat, 1983: 20—21 dan 30).
- Kutipan
Langsung
Cara melakukan kutipan langsung adalah sebagai berikut.
- Jika
kutipan empat baris atau kurang (langsung endek):
- Dikutip
apa adanya;
- Diintegrasikan
ke dalam teks paparan penulis;
- Jarak
baris kutipan dua spasi (sesuai dengan jarak spasi paparan);
- Dibubuhi
tanda kutip (“….”);
- Sertakan sumber kutipan di awal atau di akhir kutipan,
yakni nama penulis, tahun terbit, dan halaman sumber (PTH atau Author, Date, Page (ADP), misalnya (Penulis, 2012:100).
- Jika
berbahasa lain (asing atau daerah), kutipan ditulis dimiringkan (kursif);
- Jika ada kesalahan tik pada kutipan, tambahkan
kata sic dalam kurung (sic) di kanan kata yang salah tadi;
- Jika ada
bagian kalimat yang dihilangkan, ganti bagian itu dengan tanda titik
sebanyak tiga biah jika yang dihilangakan itu ada di awal atau di tengah
kutipan, dan empat titik jika di bagian akhir kalimat;
- Jika ada
penambahan komentar, tulis komentar tersebut di antara tandakurung,
nislnya, (penggarisbawahan oleh penulis).
Contoh 2:
Ada beberapa pendapat mengenai hal itu. Suryaningrat (1983:
20—21 dan 30) mengatakan, “Menurut salah satu historiografi tradisional,
penyerahan kekuasaan kerajaan Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang
berlangsung melalui penyerahan mahkota emas raja Kerajaan Sunda Pajajaran
kep[da Prabu Geusan Ulun. Penyerahan mahkota secara simbolis berarti bahwa
Sumedanglarang menjadi penerus Kerajaan Sunda,”
Lebih dari Empat Baris (Langsung Panjang):
- Dikutip
apa adanya;
- Dipisahkan
dari teks paparan penulis dalam format paragraf di bawah paparan penulis;
- Jarak
baris kutipan satu spasi;
- Sertakan
sumber kutipan di awal atau di akhir kutipan, yakni nama penulis, tahun
terbit, dan halaman sumber, misalnya (Penulis, 2012:100).
- Jika
berbahasa lain (asing atau daerah), kutipan ditulis dimiringkan.
Contoh 3:
Mengenai pentingnya penelitian di lokasi tersebut Triwurjani
dkk. (1993: 7—43) mengatakan sebagai berikut:
Penelitian secara lebih intensif di kawasan Danau Ranau pada
tahun-tahun sesudahnya masih dilakukan, yaitu pada tahun 1993 tim Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional kembali melakukan penelitian berupa survei pada
situs-situs di kawasan Danau Ranau, baik yang secara adminstratif berada di
Kabupaten Lampung Barat maupun Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), Provinsi
Sumatera Selatan. Penelitian yang dilakukan menunjukkan temuan-temuan
arkeologis dari beberapa situs yang diperoleh memiliki ciri prasejarah hingga
klasik.
- Simpulan
Pengetahuan cara mengutip yang benar perlu didapatkan oleh para
penulis karya tulis ilmiah. Hal ini bukan saja terkait dengan pengelolaan
informasi dari sumber yang diperlukan, melanikan juga terkait dengan persoalan
keabsahan karya tulis itu sendiri karena karya tulis harus terhindar dari
praktik plagiarisme. Jika sudah menetapkan suatu sistem kutipan, penulis harus
konsisten dengan sistem tersebut. Berlatihlah untuk mengutip dengan cara yang
benar.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA—Dua ormas Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam waktu yang hampir bersamaan akan
menyelenggarakan Muktamar. NU akan menggelar Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa
Timur, pada 1-5 Agustus. Sementara Muhammadiyah akan melangsungkan Muktamar
ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan pada 3-7 Agustus.
Pada muktamar kali ini, NU mengangkat tema 'Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia'. Sementara Muhammadiyah membawa tema 'Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan'.
Melalui tema tersebut, kedua ormas yang kerap dianggap representasi mayoritas Muslim Indonesia itu menawarkan konsep Islam tersendiri. NU mengusung gagasan “Islam Nusantara”, sedangkan Muhammadiyah menawarkan gagasan “Islam Berkemajuan”. Lantas, di mana letak persamaan dan perbedaan kedua konsep?
Senin (27/7), ketua umum masing-masing organisasi dipertemukan di Surabaya dalam sebuah dialog interaktif. Dialog yang diikuti 200-an hadirin itu diselenggarakan Harian Jawa Pos dalam rangka menyambut agenda Muktamar kedua organisasi.
Pada muktamar kali ini, NU mengangkat tema 'Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia'. Sementara Muhammadiyah membawa tema 'Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan'.
Melalui tema tersebut, kedua ormas yang kerap dianggap representasi mayoritas Muslim Indonesia itu menawarkan konsep Islam tersendiri. NU mengusung gagasan “Islam Nusantara”, sedangkan Muhammadiyah menawarkan gagasan “Islam Berkemajuan”. Lantas, di mana letak persamaan dan perbedaan kedua konsep?
Senin (27/7), ketua umum masing-masing organisasi dipertemukan di Surabaya dalam sebuah dialog interaktif. Dialog yang diikuti 200-an hadirin itu diselenggarakan Harian Jawa Pos dalam rangka menyambut agenda Muktamar kedua organisasi.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menjelaskan, Islam
memiliki watak universal. Karakter universalitas itu, menurut Din, harus
dikuatkan, tanpa harus meninggalkan yang partikuler atau lokalitas.
Islam Indonesia saat ini, menurut Din, tidak cukup memiliki infrastruktur untuk mencapai kemajuan, sehingga mudah terkalahkan kelompok lain. Islam Indonesia, menurut Din, adalah kelompok mayoritas dengan mental minoritas.
“Ini harus diubah dengan visi berkemajuan. Visi berkemajuan harus diterjemahkan dalam berbagai sektor, dengan proses manajemen yang modern dan baik. Inilah yang bisa memajukan Indonesia,” ujar Din.
Islam berkemajuan, Din menyampaikan, berjalan beriringan dengan konsep negara Indonesia. Ia menggambarkan, cita-cita “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, adalah hal-hal yang dicita-citakan oleh Islam berkemajuan.
Sepanjang diskusi, pemaparan kedua pembicara berhasil memukau hadirin. Baik Aqil maupun Din, dalam nada guyon sesekali mengintrik satu sama lain, sehingga tak jarang mengundang riuh tawa hadrin.
Aqil dan Din tidak memungkiri bahwa NU dan Muhammadiyah punya pendekatan yang berbeda, namun keduanya sepakat bahwa NU dan Muhammadiyah bersifat saling melengkapi. Selain Din dan Aqil, dihadirkan pembicara ketiga, pengamat politik Universitas Airlangga, Hariadi. Selain itu, dialog juga dihadiri Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.
Islam Indonesia saat ini, menurut Din, tidak cukup memiliki infrastruktur untuk mencapai kemajuan, sehingga mudah terkalahkan kelompok lain. Islam Indonesia, menurut Din, adalah kelompok mayoritas dengan mental minoritas.
“Ini harus diubah dengan visi berkemajuan. Visi berkemajuan harus diterjemahkan dalam berbagai sektor, dengan proses manajemen yang modern dan baik. Inilah yang bisa memajukan Indonesia,” ujar Din.
Islam berkemajuan, Din menyampaikan, berjalan beriringan dengan konsep negara Indonesia. Ia menggambarkan, cita-cita “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, adalah hal-hal yang dicita-citakan oleh Islam berkemajuan.
Sepanjang diskusi, pemaparan kedua pembicara berhasil memukau hadirin. Baik Aqil maupun Din, dalam nada guyon sesekali mengintrik satu sama lain, sehingga tak jarang mengundang riuh tawa hadrin.
Aqil dan Din tidak memungkiri bahwa NU dan Muhammadiyah punya pendekatan yang berbeda, namun keduanya sepakat bahwa NU dan Muhammadiyah bersifat saling melengkapi. Selain Din dan Aqil, dihadirkan pembicara ketiga, pengamat politik Universitas Airlangga, Hariadi. Selain itu, dialog juga dihadiri Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar